pengertian
Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah suatu
persyarikatan yang merupakan "Gerakan Islam". Maksud gerakannya ialah
"da'wah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar", yang ditujukan pada dua
bidang: perseorangan dan masyarakat. Da'wah dan amar ma'ruf nahi munkar pada
bidang pertama terbagi pada dua golongan, yakni: kepada yang telah Islam
bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran yang
asli-murni.kepada yang belum Islam merupakan seruan dan ajakan untuk memeluk
ajaran Islam.
Adapun da'wah Islam dan
amar ma'ruf nahi munkar bidang kedua adalah kepada masyarakat, bersifat
bimbingan, ajakan,dan peringatan.
Kesemuanya itu dilaksanakan bersama dengan musyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-mata. Dengan melaksanakan da'wah Islam amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammaddiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah "Mewujudkan masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu Wata'ala".
Kesemuanya itu dilaksanakan bersama dengan musyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-mata. Dengan melaksanakan da'wah Islam amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammaddiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah "Mewujudkan masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu Wata'ala".
1.Dasar Perjuangan Muhammadiyah
Dalam perjuangan
melaksanakan usahanya menuju terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang
diridhai Allah SWT, yang dicerminkan oleh kesejahteraan, kebaikan dan
kebahagiaan yang luas dan merata, Muhammadiyah mendasarkan
segala gerak amal usahanya atas prinsip yang tersimpul dalam muqaddimah
Anggaran Dasar, yaitu:Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah dan taat
kepada Allah. Hidup manusia bermasyarakat. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam
dengan keyakinan bahwa Islam itu satu-satunya landasan dan ketertiban untuk
kebahagiaan dunia akherat.Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam
masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada
manusia. "Ittiba" kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.
Menilik dasar prinsip
tersebut di atas, maka apapun yang diusahakan dan bagaimanapun cara perjuangan
Muhammadiyah untuk mencapai tujuan tunggalnya, harus berpedoman pada:
"Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasulnya, bergerak membangun di segala bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridhai Allah subhanahu Wata'ala."
"Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasulnya, bergerak membangun di segala bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridhai Allah subhanahu Wata'ala."
Muhammadiyah
memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya, terutama: Beramal dan berjuang
untuk perdamaian dan kesejahteraan.Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah
Islamiyah.Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran
Islam.Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.Mengindahkan segala hukum, undang-undang,
peraturan serta dasar dan falsafah negara yang sah.Amar ma'ruf nahi munkar
dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan sesuai dengan ajaran
Islam.Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan
sesuai dengan ajaran Islam.
Bekerjasama dengan
golongan Islam manapun dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta
membela kepentingan-nya.Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan
lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat yang adli
dan makmur yang diridhai Allah.
Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.
4.kebijakan
muhammadiyah
Lembaga Hikmah
dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sleman memfasilitasi
agenda Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik berupa Turba atau Silaturrahim LHKP PWM DIY ke
Sleman, pada hari Jumat 18 November 2011 pukul 18.00 WIB di Rumah Dinas
Bupati Sleman. Agenda yang dibahas antara lain : 1. Sosialisasi hasil
Rakerwil, 2. Identifikasi sinergi Muhammadiyah dan Pemda Sleman, 3.
Inisiasi forum diskusi kebijakan. Acara ini dipimpin Nur Cahyoprobo (Ketua LHKP
PDM Sleman).
Kebijakan Sekolah
sebagai berikut :
1. Menyelenggarakan sistem pendidikan dasar dan menengah yang unggul
berbasis nilai-nilai keislaman dan sainsyang terintegrasi
2. Meningkatkan kinerja sekolah melalui pengembangan kompetensi, sarana
pembelajaran, sistem manajemen dan sumber daya manusia sesuai dengan sekolah
bertaraf internasional
3. Mewujudkan kualitas lulusan yang berkepribadian mulia, mandiri,
berprestasi, dan menjadi teladan
4. Meningkatkan dan mengembangkan pendidikan dasar dan menengah di
Muhammadiyah dengan menjadi sekolah Islam percontohan yang profesional
rencana pengembangan muhammadiyah
BERKARAKTER
DAN CERDAS ” yang tercermin dalam bentuk : • The Best Performance • The Best
Attitude • The Best Achievement MISI : 1. Menjadikan nilai-nilai keislam
sebagai spirit untuk terwujudnya karakter civitas akademik yang unggul. 2.
Menempatkan SDM yang berkualitas dan profesional yang dilengkapi dengan sarana
/ prasarana memadai sebagai basis utama seluruh proses pendidikan dan
pembelajaran. 3. Melibatkan seluruh komponen sekolah sebagai satu sistem pada
setiap kegiatan dengan pendekatan kemanusiaan untuk mewujudkan visi sekolah. 4.
Menyelenggarakan proses belajar-mengajar yang memungkinkan siswa menjadi
berkarakter dan cerdas. TUJUAN : 1. Menanamkan jiwa keberagamaan yang kuat
sesuai dengan ajaran Islam, sehingga melahirkan iman yang kokoh, taat beribadah
dan berkarakter. 2. Menumbuhkembangkan seluruh potensi kecerdasan majemuk
peserta didik (yang meliputi kecerdasan intelektual, emosional, intra personal,
antar personal, kinestetik, spiritual, musikal, spasial, dan bahasa) dengan
melaksanakan kegiatan belajar-mengajar yang efektif. 3. Mengasah peserta didik
dengan segala potensinya menjadi warga negara yang berkarakter nasional dan
bertanggung jawab.
Tantangan Muhammadiyah, Bertajdid Menuju Dahlan
MENYOAL tentang
Muhammadiyah berarti menghidupkan K.H. Ahmad Dahlan. Bukan berarti hari
kelahiran beliau dirayakan dalam bentuk haul. Bukan pula berarti
menginstitusionalisasikan peninggalan beliau, yang konsekuensinya membekukan
Muhammadiyah dalam penjara spatio-temporal. Akan tetapi, menghidupkan Ahmad
Dachlan bermakna merekonstruksikan hidup dan pemikirannya untuk dijadikan
preskripsi aksi. Darinya kita bisa menimba pelajaran:
1. beradalah di luar dunia politik, tapi tetap berpolitik.
Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik atau terlibat dalam politik sebagai satu organisasi, walau secara individual maupun faksional para kadernya terlibat dalam banyak kegiatan dan partai politik, dari Masyumi sampai PAN. Dalam satu masa, bahkan kekurangberpolitikan Muhammadiyah membuat begawan Islam politik Indonesia, Muhammad Natsir, memilih mendirikan basis organisasi baru sebagai topangan untuk menghidupkan kembali Masyumi di awal Orde Baru.
Bahkan bila ditilik kembali ke awal masa kolonialisme, kegiatannya semata pada aktivitas sosial-budaya, dan kesibukannya pada periferi politik membuat Muhammadiyah berada dalam kondisi yang memungkinkan ia menerima subsidi bagi sekolah-sekolah modern kembangannya. Bukan berarti Muhammadiyah bersepakat dengan penjajah Belanda dan menerima imbalan kolaborasi itu. Berpolitik tidak harus dengan yang kasat-mata, cepat-hasil, dan konfrontasional.
Pada masanya, perlawanan yang paling tepat adalah penciptaan kesadaran kolektif tentang kekejian kolonialisme. Kesadaran ini takkan lahir tanpa kecerdasan generasi muda yang akan berjuang di masa depan. Pedagogi adalah bentuk perjuangan yang mengedepankan political wisdom. Saat berpolitik meliputi semua aktivitas, dan kepanjangan dari etika, maka Muhammadiyah menawarkan bentuk berpolitik baru dan memberikan saham dalam perjuangan berjangka panjang yang notabene suatu bentuk berpolitik dari pinggir.
Di sisi lain, dengan ber-khittah pada 1912, Muhammadiyah sudah sedari awal sadar bahwa perubahan paling bermakna adalah pergerakan dari pinggir ke pusat; perubahan melalui jalur sosial dan budaya. Jauh sebelum Nurcholish Majid menyerukan sokongan pada pembentukan Islam kultural, Muhammadiyah sudah memikirkan dan melaksanakannya. Hanya sayang kadang tidak disadari bahwa keputusan strategis yang dirancang oleh pendiri Muhammadiyah tidak diapresiasai semestinya.
Visi yang dikedepankan oleh Dahlan adalah sebuah visi berorientasi substansi untuk memberikan sumbangan hakiki. Jika jalan Muhammadiyah dibelokkan menuju politik praktis, bukan hanya akan mencederai catatan sejarahnya yang bersih dari kekisruhan, juga akan menjadi sebuah lompatan besar menuju daerah tak bertuan. Formalisme kemudian merupakan kosa kata aksi, dan aksi akan menjadi sekadar seremoni.sebagai produk urban, tetaplah memperhatikan masalah urban.
1. beradalah di luar dunia politik, tapi tetap berpolitik.
Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik atau terlibat dalam politik sebagai satu organisasi, walau secara individual maupun faksional para kadernya terlibat dalam banyak kegiatan dan partai politik, dari Masyumi sampai PAN. Dalam satu masa, bahkan kekurangberpolitikan Muhammadiyah membuat begawan Islam politik Indonesia, Muhammad Natsir, memilih mendirikan basis organisasi baru sebagai topangan untuk menghidupkan kembali Masyumi di awal Orde Baru.
Bahkan bila ditilik kembali ke awal masa kolonialisme, kegiatannya semata pada aktivitas sosial-budaya, dan kesibukannya pada periferi politik membuat Muhammadiyah berada dalam kondisi yang memungkinkan ia menerima subsidi bagi sekolah-sekolah modern kembangannya. Bukan berarti Muhammadiyah bersepakat dengan penjajah Belanda dan menerima imbalan kolaborasi itu. Berpolitik tidak harus dengan yang kasat-mata, cepat-hasil, dan konfrontasional.
Pada masanya, perlawanan yang paling tepat adalah penciptaan kesadaran kolektif tentang kekejian kolonialisme. Kesadaran ini takkan lahir tanpa kecerdasan generasi muda yang akan berjuang di masa depan. Pedagogi adalah bentuk perjuangan yang mengedepankan political wisdom. Saat berpolitik meliputi semua aktivitas, dan kepanjangan dari etika, maka Muhammadiyah menawarkan bentuk berpolitik baru dan memberikan saham dalam perjuangan berjangka panjang yang notabene suatu bentuk berpolitik dari pinggir.
Di sisi lain, dengan ber-khittah pada 1912, Muhammadiyah sudah sedari awal sadar bahwa perubahan paling bermakna adalah pergerakan dari pinggir ke pusat; perubahan melalui jalur sosial dan budaya. Jauh sebelum Nurcholish Majid menyerukan sokongan pada pembentukan Islam kultural, Muhammadiyah sudah memikirkan dan melaksanakannya. Hanya sayang kadang tidak disadari bahwa keputusan strategis yang dirancang oleh pendiri Muhammadiyah tidak diapresiasai semestinya.
Visi yang dikedepankan oleh Dahlan adalah sebuah visi berorientasi substansi untuk memberikan sumbangan hakiki. Jika jalan Muhammadiyah dibelokkan menuju politik praktis, bukan hanya akan mencederai catatan sejarahnya yang bersih dari kekisruhan, juga akan menjadi sebuah lompatan besar menuju daerah tak bertuan. Formalisme kemudian merupakan kosa kata aksi, dan aksi akan menjadi sekadar seremoni.sebagai produk urban, tetaplah memperhatikan masalah urban.
Biarpun memiliki
banyak cabang hingga ke desa-desa, Muhammadiyah adalah bagian dari fenomena
urban. Organisasi yang terlahir melalui tangan kaum pedagang Muslim urban ini
memberikan warna Islam berbeda: bersahabat dengan modernitas, mengutamakan
kemandirian belajar ketimbang figur, terbuka, egaliter, berorientasi keadilan
ekonomi. Karenanya, terbentuklah sebuah pendekatan Islam perkotaan berbicara
dengan kosa kata urban dan mengatasi masalah urban.
Kita tahu urbanisasi memunculkan dislokasi pemikiran dan komunitas, yang berakhir dengan, salah satunya, kaum mustadhafin perkotaan. Buruh berpenghasilan rendah yang dieksploitasi perusahaan asing adalah hal jamak didengar. Keluarganya kembang kempis memenuhi kebutuhan dapur maupun pendidikan juga kerap kita simak. Namun usaha membela dari kaum yang secara historis merupakan bagian dari mereka, masih sayup-sayup terdengar.Mungkin etika protestanisme yang sering dikaitkan secara rancu dengan Muhammadiyah, berkonsekuensi juga pada kohesi dan kolektivisme etis para kadernya. Semangat komunitarianisme yang mempunyai saham besar dalam Islam seperti terpinggirkan oleh individualisme bentukan kapitalisme sebagai produk protestanisme.
2. berpikir global, dan beraksi lokal.
Dilahirkan dari rahim urban, tidak terelakkan bila Muhammadiyah terimbas oleh globalisasi. Bahkan bila mau dirunut, Ahmad Dahlan sendiri adalah produk globalisasi karena proses belajar di Mekah dan pertemuannya dengan Rasyid Ridha maupun terpengaruhinya oleh pemikiran tokoh-tokoh global pan-Islamisme masa itu seperti al-Afghani dan Abduh.
Sepulangnya ke tanah air, alih-alih mempromosikan apa yang dia dapatkan di luar, Dachlan berusaha menerjemahkan apa yang ia pahami dari perjalanan belajarnya ke dalam konteks Indonesia. Solusi yang ia tawarkan memiliki kekhasan pengaruh globalisme seperti menerima modernisme, memahami geopolitik internasional melalui kolonialisme, dan melihat umat dari wawasan lebih luas. Namun aplikasinya benar-benar berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan lokal.
Walau globalisasi merupakan bagian integral Muhammadiyah secara historis, tidak lantas berarti ia harus menelannya. Kemampuan kader untuk beranjak dari sekadar mengimpor pemikiran dari luar --berbentuk pengentalan maupun pencairan Muhammadiyah, baik itu dari Barat maupun dunia Islam--sesungguhnya menunjukkan kemajuan berijtihad dan kedewasaan epistemik. Melihat permasalahan bangsa secara lebih luas masih merupakan tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah.
3. layanan sosial adalah kekuatan dan keutamaan Muhammadiyah.
Muhammadiyah ditilik secara historis dipandang sebagai suatu modal sosial bangsa ini. Ia hakikatnya merupakan aset dan instrumen penting untuk realisasi dan artikulasi ide-ide pedagogikal, egalitarianisme sosial, dan amal ekumenikal.
Apa yang dulu dikhawatirkan di pertengahan 1980-an oleh Ahmad Syafii Maarif tentang kemandekan intelektualisme dalam Muhammadiyah karena terlalu terlibat dalam amaliah sosial, kini berbalik. Stagnasi intelektual sudah relatif berkurang karena Muhammadiyah sampai tingkat tertentu memiliki kemampuan dan sumber daya dalam memberi kontribusi gagasan alternatif bagi problematika sosial, ekonomi, dan religius. Justru kini terjadi kemandekan atau malah kemerosotan fungsi Muhammadiyah sebagai pemberdaya ekonomi dan pemberi layanan sosial.Beberapa aset pendidikan dan sosial Muhammadiyah dalam keadaan yang memprihatinkan. Kepekaan organisasi ini terhadap masalah-masalah sosial, seperti kelangkaan pendidikan bagi warga miskin tak berpunya atau kekurangan gizi, masih dirasakan kurang dari semestinya atau bahkan bila dibandingkan beberapa organisasi lain.Boleh jadi, intelektual Muhammadiyah sekarang, seperti organisasi besar Islam lain di Indonesia, fasih (well-versed) dalam diskursus pluralisme, liberalisme, atau demokrasi (dan memang ini diperlukan); tapi kefasihan mereka berpraksis Tauhid sosial, memaknakan diri sebagai ikatan etis terhadap yang lain, terasa masih tertinggal di belakang. Abstraksi terlahir dari praksis, hikmah sebagai ekstraksi dari amaliah atau dikenal dalam khazanah Yunani kuno sebagai phronesis, seperti mendapat tempat yang termarginalkan dalam pemikiran maupun ruang publik Muhammadiyah.
Sebab itu, aktivitas amaliah sosial tidak mesti selalu didikotomisasikan dengan pengayaan intelektual. Pemahaman ini bersifat universal seperti yang dicerminkan oleh Francis Asisi, dan K.H. Ahmad Dahlan juga memberikan teladannya. Ia tidak sekadar berdiri menceramahi dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan Budi Utomo, tapi juga mendirikan fasilitas layanan sosial seperti panti asuhan dan klinik di masanya. Problem kemasyarakatan adalah problem Muhammadiyah yang tidak melulu mesti disikapi dengan memprioritaskan penyelesaian intelektual. Aksi berbicara lebih dari sejuta suara.
4. bertahan dengan kelenturan dan posisi di tengah.
Muhammadiyah lahir sebagai resistensi terhadap kolonialisme dalam upaya mengintegrasikan kekuatan dan persatuan Islam dengan menggunakan strategi apropriasi. Bentuk perlawanan yang ditawarkan oleh Muhammadiyah bukan berbalik pada nativisme (jangan pakai produk Barat) malah pada hibdritas (lawan Barat dengan produk Barat). Proses ini bisa terjadi melalui mekanisme khas Muhammadiyah: tajdid.
Ahmad Dahlan sendiri adalah produk dari proses ini. Hidup di lingkungan kauman di Yogya, dia membuka diri bagi pengaruh pendidikan Barat, juga belajar huruf latin dan khazanah ilmu modern dari rekan-rekannya di Budi Utomo. Hasilnya, melalui organisasi yang didirikannya, ditelurkan publikasi rutin melalui mesin cetak modern dan didirikan sekolah persilangan antara sekolah model kolonial dan pesantren.Ia termasuk mereka yang pertama-tama memperkenalkan bangku dan papan tulis (sebuah tanda modernitas seperti komputer sekarang). Komunitas epistemik yang dibentuk melalui pengenalan rasionalisme, kurikulum, dan perangkat modern Barat ini merupakan pembadanan loncatan historis.Sehingga, walau terlihat sebagai seorang puritan yang menghebohkan Masjid Kesultanan, jauh di dalam diri Dahlan bersemayam kelenturan dan kemoderatan. Jauh dari menolak Barat, juga jauh dari memeluknya; dekat dengan tradisionalisme tapi tidak menjadi tradisionalis. Ahmad Dahlan adalah tokoh muslim liminal, seorang yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi. Keseimbangan adalah kunci yang menjaga kelenturan dan kemoderatan Dahlan. Ber-tajdid menjadi upaya menjaga keseimbangan itu. Tanpa keseimbangan, semua akan runtuh.
Singkatnya, Muhammadiyah yang melupakan Dahlan adalah Muhammadiyah yang kehilangan arah.
Kita tahu urbanisasi memunculkan dislokasi pemikiran dan komunitas, yang berakhir dengan, salah satunya, kaum mustadhafin perkotaan. Buruh berpenghasilan rendah yang dieksploitasi perusahaan asing adalah hal jamak didengar. Keluarganya kembang kempis memenuhi kebutuhan dapur maupun pendidikan juga kerap kita simak. Namun usaha membela dari kaum yang secara historis merupakan bagian dari mereka, masih sayup-sayup terdengar.Mungkin etika protestanisme yang sering dikaitkan secara rancu dengan Muhammadiyah, berkonsekuensi juga pada kohesi dan kolektivisme etis para kadernya. Semangat komunitarianisme yang mempunyai saham besar dalam Islam seperti terpinggirkan oleh individualisme bentukan kapitalisme sebagai produk protestanisme.
2. berpikir global, dan beraksi lokal.
Dilahirkan dari rahim urban, tidak terelakkan bila Muhammadiyah terimbas oleh globalisasi. Bahkan bila mau dirunut, Ahmad Dahlan sendiri adalah produk globalisasi karena proses belajar di Mekah dan pertemuannya dengan Rasyid Ridha maupun terpengaruhinya oleh pemikiran tokoh-tokoh global pan-Islamisme masa itu seperti al-Afghani dan Abduh.
Sepulangnya ke tanah air, alih-alih mempromosikan apa yang dia dapatkan di luar, Dachlan berusaha menerjemahkan apa yang ia pahami dari perjalanan belajarnya ke dalam konteks Indonesia. Solusi yang ia tawarkan memiliki kekhasan pengaruh globalisme seperti menerima modernisme, memahami geopolitik internasional melalui kolonialisme, dan melihat umat dari wawasan lebih luas. Namun aplikasinya benar-benar berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan lokal.
Walau globalisasi merupakan bagian integral Muhammadiyah secara historis, tidak lantas berarti ia harus menelannya. Kemampuan kader untuk beranjak dari sekadar mengimpor pemikiran dari luar --berbentuk pengentalan maupun pencairan Muhammadiyah, baik itu dari Barat maupun dunia Islam--sesungguhnya menunjukkan kemajuan berijtihad dan kedewasaan epistemik. Melihat permasalahan bangsa secara lebih luas masih merupakan tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah.
3. layanan sosial adalah kekuatan dan keutamaan Muhammadiyah.
Muhammadiyah ditilik secara historis dipandang sebagai suatu modal sosial bangsa ini. Ia hakikatnya merupakan aset dan instrumen penting untuk realisasi dan artikulasi ide-ide pedagogikal, egalitarianisme sosial, dan amal ekumenikal.
Apa yang dulu dikhawatirkan di pertengahan 1980-an oleh Ahmad Syafii Maarif tentang kemandekan intelektualisme dalam Muhammadiyah karena terlalu terlibat dalam amaliah sosial, kini berbalik. Stagnasi intelektual sudah relatif berkurang karena Muhammadiyah sampai tingkat tertentu memiliki kemampuan dan sumber daya dalam memberi kontribusi gagasan alternatif bagi problematika sosial, ekonomi, dan religius. Justru kini terjadi kemandekan atau malah kemerosotan fungsi Muhammadiyah sebagai pemberdaya ekonomi dan pemberi layanan sosial.Beberapa aset pendidikan dan sosial Muhammadiyah dalam keadaan yang memprihatinkan. Kepekaan organisasi ini terhadap masalah-masalah sosial, seperti kelangkaan pendidikan bagi warga miskin tak berpunya atau kekurangan gizi, masih dirasakan kurang dari semestinya atau bahkan bila dibandingkan beberapa organisasi lain.Boleh jadi, intelektual Muhammadiyah sekarang, seperti organisasi besar Islam lain di Indonesia, fasih (well-versed) dalam diskursus pluralisme, liberalisme, atau demokrasi (dan memang ini diperlukan); tapi kefasihan mereka berpraksis Tauhid sosial, memaknakan diri sebagai ikatan etis terhadap yang lain, terasa masih tertinggal di belakang. Abstraksi terlahir dari praksis, hikmah sebagai ekstraksi dari amaliah atau dikenal dalam khazanah Yunani kuno sebagai phronesis, seperti mendapat tempat yang termarginalkan dalam pemikiran maupun ruang publik Muhammadiyah.
Sebab itu, aktivitas amaliah sosial tidak mesti selalu didikotomisasikan dengan pengayaan intelektual. Pemahaman ini bersifat universal seperti yang dicerminkan oleh Francis Asisi, dan K.H. Ahmad Dahlan juga memberikan teladannya. Ia tidak sekadar berdiri menceramahi dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan Budi Utomo, tapi juga mendirikan fasilitas layanan sosial seperti panti asuhan dan klinik di masanya. Problem kemasyarakatan adalah problem Muhammadiyah yang tidak melulu mesti disikapi dengan memprioritaskan penyelesaian intelektual. Aksi berbicara lebih dari sejuta suara.
4. bertahan dengan kelenturan dan posisi di tengah.
Muhammadiyah lahir sebagai resistensi terhadap kolonialisme dalam upaya mengintegrasikan kekuatan dan persatuan Islam dengan menggunakan strategi apropriasi. Bentuk perlawanan yang ditawarkan oleh Muhammadiyah bukan berbalik pada nativisme (jangan pakai produk Barat) malah pada hibdritas (lawan Barat dengan produk Barat). Proses ini bisa terjadi melalui mekanisme khas Muhammadiyah: tajdid.
Ahmad Dahlan sendiri adalah produk dari proses ini. Hidup di lingkungan kauman di Yogya, dia membuka diri bagi pengaruh pendidikan Barat, juga belajar huruf latin dan khazanah ilmu modern dari rekan-rekannya di Budi Utomo. Hasilnya, melalui organisasi yang didirikannya, ditelurkan publikasi rutin melalui mesin cetak modern dan didirikan sekolah persilangan antara sekolah model kolonial dan pesantren.Ia termasuk mereka yang pertama-tama memperkenalkan bangku dan papan tulis (sebuah tanda modernitas seperti komputer sekarang). Komunitas epistemik yang dibentuk melalui pengenalan rasionalisme, kurikulum, dan perangkat modern Barat ini merupakan pembadanan loncatan historis.Sehingga, walau terlihat sebagai seorang puritan yang menghebohkan Masjid Kesultanan, jauh di dalam diri Dahlan bersemayam kelenturan dan kemoderatan. Jauh dari menolak Barat, juga jauh dari memeluknya; dekat dengan tradisionalisme tapi tidak menjadi tradisionalis. Ahmad Dahlan adalah tokoh muslim liminal, seorang yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi. Keseimbangan adalah kunci yang menjaga kelenturan dan kemoderatan Dahlan. Ber-tajdid menjadi upaya menjaga keseimbangan itu. Tanpa keseimbangan, semua akan runtuh.
Singkatnya, Muhammadiyah yang melupakan Dahlan adalah Muhammadiyah yang kehilangan arah.
Sejarah Organisasi
1. Sejarah
Bencana bisa memiliki dampak yang luas pada sebuah negara, pemerintah, dan rakyatnya. Karenaitu, tanggung jawab utama penanganan bencana harus
berada di tangan negara. Sementara pihak di luar negara, seperti organisasi-organisasi
non-pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga
internasional merupakan mitra kerja negara atau pemerintah yang berperan serta
dalam mempercepat dan menyempurnakan proses penanggulangan bencana di
Indonesia. Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan merasa terpanggil untuk ikut
berperan serta aktif dalam upaya penanganan bencana.
Peran serta aktif dari Persyarikatan Muhammadiyah dalam “menolong
kesengsaraan” perlu disusun dalam suatu sistem penanganan bencana. Sistem
penanganan bencana tersebut haruslah sistem yang benar-benar lentur dan dapat
meningkatkan peran serta majelis, lembaga, amal usaha, organisasi otonom
(ortom), dan elemen penting dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Fungsi utama
sistem penanganan bencana adalah untuk memastikan bahwa sumber daya dan kerja
dari Majelis, Lembaga, Organisasi Otonom atau Amal Usaha terkoordinasi dengan
baik untuk melakukan usaha terbaik penanggulangan bencana.
Dengan demikian, jika sistem
Penanggulangan Bencana ini diikuti dengan ketat, maka: tidak akan ada
kebingungan antara peran manajemen dan koordinasi yang dilakukan oleh Lembaga
Penanggulangan Bencana Muhammadiyah dan peran Majelis-Lembaga-ORTOM dan Amal
Usaha;tidak akan ada kebingungan antara peran manajemen dan koordinasi yang
dilakukan oleh Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah di tingkat pusat,
wilayah dan daerah
· dapat dihindari konflik manajemen;
· tugas-tugas penanggulangan bencana dapat dilaksanakan dengan efektif dan
efisien; dan
· terjadi optimalisasi dan efektifitas dalam keseluruhan tindakan.
2. Semangat Al-Ma’un
Surah Al-Ma’un
merupakan basis ideologi perjuangan yang memberikan landasan keberpihakan
kepada kaum lemah (dhu’afa’)
dan kaum teraniaya (mustadl’afin).
Semangat Al-Ma’un merupakan dasarpijakandalam pengembangan awal gerakan
“PKO-Penolong KesengsaraanOemoem”dengantokohKyaiSudjak di
awalpendirianMuhammadiyahtahun 1912. Semangat ini sudah saatnya diterjemahkan
kembali sebagai basis dalam gerakan penanggulangan bencana. Penerjemahan
tersebut disesuaikan dengan munculnya gagasan baru tentang pembentukan
masyarakat sipil atau masyarakat madani atau masyarakat yang beradab.
Masyarakat madani yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang terbuka
dan bermartabat. Prasyarat yang seharusnya ada dalam masyarakat madani adalah
penempatan teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai basis gerakan.
Visi Muhammadiyah
adalah Terwujudnya masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. Dalam kilasan sejarah, Persyarikatan Muhammadiyah
memiliki tujuan-tujuan yang disandarkan pada indikatorkemanusiaan. Tujuan
dari masing-masing periode, dapat dilihat sebagai berikut:
· 1912-1946: Memajukan dan menggembirakan hidup berdasar Islam.
· 1946-1985: Menegakkan dan menjunjung agama Islam sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya.
· 1985-2000: Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud
masyarakat utama, yang diridhai Allah SWT
· 2000-sekarang: Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Visi di periode awal yang berbunyi memajukan
dan ‘menggembirakan hidup’ berdasar Islam memberikan spirit yang khas.
Tujuan ini sangat jelas didasarkan pada pemikiran bahwa dalam Islam sudah
tertanam (embodied) perasaan
riang atau hidup dengan riang; dan Islam merupakan sebuah jalan untuk mencapai
kemajuan (progress). Tujuan ini
mencoba membangun sebuah gagasan bahwa kemajuan haruslah membawa kegembiraan,
khususnya bagi anak-anak yang tidak terlindungi (yatim) dan kelompok miskin
(inti surah Al-Ma’un). Hal ini sangat berbeda dengan situasi sosial modern yang
menempatkan dalam setiap kemajuan memiliki anak berupa penderitaan dan
keterasingan.
Dalam mengimplementasikan semangat Al-Ma’un ada banyak hambatan dan
tantangan. Menurut Ketua PP Muhammadiyah 2005-2010, Dr. Sudibyo Markus, hambatan-hambatan yang terjadi dalam Muhammadiyah
adalah (1) Hambatan kultural; tarik menarik antara political disengagement dan civic engagement. (2) Hambatan struktural; organisasi terlalu
besar. (3) Hambatan paradigmatik, dalam pelaksanaan fungsi khalifah, rahmatan
dan risalah. (4) Hambatan programatik, terjebak dalam kegiatan kelembagaan,
kurang berfokus pada pendekatan ummah. Menjadi “pengrajin” amal usaha,
melahirkan “pulau-pulau“ yang kurang tanggap terhadap lingkungannya.
Padahal ‘ruh’ gerakan Muhammadiyah sejak awal berdirinya menyiratkan
inklusivitas total dan universal sesuai dengan semangat Islam sebagai rahmat bagi seluruh semesta. Ruh ini
terartikulasi secara berbeda sesuai dengan perkembangan zaman, terutama
penggunaan bahasa. Namun ‘maju dan gembira’ merupakan frasa yang seharusnya tidak pupus
dalam cara kerja Muhammadiyah. Dalam konteks sekarang, maju dan gembira
haruslah dimaknai dengan cara pandang baru, yakni:
- Menguatkan komitmen kepada kelompok yang tidak terlindungi (mustadl’afin) dan yang lemah (dlu’afa).
- Mobilisasi sumber daya yang ada di Muhammadiyah untuk keluar dari dominasi kekuatan
pasar global.
- Membangun solidaritas kolektif dan membangun kohesivitas secara
terstruktur.
- Mengembangkan modal sosial (social
capital), sebagai kompensasi bagi hilangnya aksessumber daya alam dan
meningkatkan kepercayaan ‘trust’
dalam manajemen sumberdaya manusia.
- Penyeimbang proses demokratisasi dan good governance.
Dua prioritas Muhammadiyah dalam membumikan konsep masyarakat Islam
sebenar-benarnya adalah [1] Back to
Basics – peningkatan kapasitas lokal/komunitas/akar rumput dan [2] GoInternational. Keduanya berkaitan
dengan peristiwa di tingkat global dengan akar rumput (outthere phenomena dengan in
here phenomena). Perlu diingat bahwa globalisasi merupakan jalan kembali
ke kampung halaman. Dalam konteks ini globalisasi justru memberikan kesempatan
untuk menemukan kembali kesadaran ’lokal’ kita dan memungkinkan terjadinya
hibridasi kebudayaan (akomodasi: menyerap, dan akulturasi: mencyerap dan
membagi). Di dunia Internasional Muhammadiyah dianggap sebagai pilar Islam
Moderat dan tonggak demokrasi di Indonesia. Banyak yang ingin membantu dan
bekerjasama, salah satunya organisasi-organisasi yang tergabung dalam Humanitarian Forum Indonesia (HFI).
Muhammadiyah menjadi salah satu dari inisiator organisasi ini. Isu bencana
dalam community based
disasterreduction management (CBDRM) merupakan bagian dari strategi
makro Muhammadiyah sebagai Islamic
Society/Civil Society yang bertumpu pada konsep surat Al-Ma’un, yang mengandung
proses (1). Karitatif, (2). Pemberdayaan, (3). Takaful (modal sosial), (4).
Ketahanan sosial, (5). Masyarakat yang beradab (civil society).
Padatahun 2007PimpinanPusatMuhammadiyahmembentukPusatPenanggulanganBencanadenganmengeluarkan SuratKeputusan Nomor:
58/KEP/I.0/2007 tentang penetapan Pengurus denganketuaDr.H.M. NatsirNugroho,
Sp.OG, M.Kes. Pembentukaniniberdasarrekomendasi Internal Pasal 1 keputusan
Muktamar Muhammadiyah 45 tahun 2005. Pada periode 2010 – 2015 Pimpinan Pusat
Muhammadiyah merubah menjadi Lembaga Penanggulangan Bencana dengan kedudukan
setingkat Majelis dengan Ketua H. Budi Setiawan, ST dan berkedudukan di Kota
Yogyakarta.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan berikut dapat disimpulkan :
1. Gerakan Muhammadiyah
berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riel kongkret dan nyata
yang dapat dihayati, dirasakan dan dinikmati oleh umat -umat sebagai rahmatan
lil’alamin.
2. Semua amal usaha
diadakan dengan niat dan tujuan yang tunggal yaitu untuk dijadikan sarana dan
wahana dakwah Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Qur’an.
3. Sifat Tajdid pada
gerakan Muhammadiyah disamping berupaya memurnikan ajaran Islamdari berbagai
kotoran yang menempel juga melakukan pembaharuan cara-cara pelaksanaan ajaran
Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Soebagio LN.KH Mas Mansyur, Pembaharu
Islam diIndonesia, Gunung Agung, Jakarta 1982.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan